Saturday, October 28, 2006

Tak Mudah Bekuk Pelaku Teror

Sabtu, 28 Oktober 2006

Kesulitan Aparat Bisa Disiasati dengan Teknik Intelijen


Jakarta, Kompas - Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto mengakui tak mudah menangkap pelaku teror yang berkeliaran di Poso, Sulawesi Tengah. Pengakuan ini diungkapkannya saat menjawab pers, seusai melepas kepergian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke China, Jumat (27/10) di Halim Perdanakusuma, Jakarta.

"Menangkap pelaku teror itu tidak seperti membangun rumah. Mereka kan juga manusia, yang bisa menghindari petugas, lari, dan segala macamnya. Jadi, tidak semudah itu. Yang jelas, Polri terus berusaha. Sekarang sudah mengidentifikasikan pelakunya. Tunggu saja tanggal mainnya. Memang, tidak seperti menghitung hari (menangkapnya)," ujar Sutanto.

Pernyataan itu ia ungkapkan saat menjawab pertanyaan wartawan: dengan sudah adanya instruksi Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla di Makassar hari Kamis, apakah Polri dapat segera menangkap para pelaku teror di Poso dalam hitungan hari?

Seperti diberitakan, Kalla menyatakan kepada pers saat open house di rumah pribadinya di Makassar bahwa kasus yang terjadi di Poso adalah teror. Oleh karena itu, Polri harus segera menangkap para pelakunya.

Sutanto dalam kesempatan itu bahkan menegaskan bahwa, tanpa adanya instruksi dari Wapres Jusuf Kalla pun, Polri memiliki tanggung jawab untuk menangkap para pembuat teror di Poso. "Polri kan sudah terus membuktikannya dengan menangkap para pelakunya di Poso. Dari dulu itu sudah demikian. Sekarang yang ada itu (pelaku teror) hanya sisa-sisanya saja," ujar Sutanto.

Tentang perlunya diberlakukan Undang-Undang Antiteroris sebagaimana disampaikan Wapres Jusuf Kalla, Kepala Polri juga menjelaskan, "Tentu hukum yang ada akan kita terapkan, termasuk undang-undang yang berlaku bagi para pelaku teror."

Mengenai adanya gagasan untuk mempertemukan para deklarator Perdamaian Malino, Sutanto menyambut baik apabila hal tersebut akan dilakukan. "Itu memang sesuatu yang baik. Akan tetapi, bukan kewenangan saya untuk melakukannya. Dari masyarakatnya harus ada kemauan yang kuat untuk bersama-sama menjaga situasinya," tutur Sutanto.

Ketika ditanya mengenai perlunya dibentuk tim pencari fakta untuk menuntaskan kasus Poso, Sutanto menyatakan tidak perlu. Sebab, jika masalahnya sudah jelas, yang perlu dilakukan adalah menangkap para pelakunya.

Lima warga diperiksa

Di Poso, kepolisian resor kota itu tengah memeriksa lima warga yang membawa senjata tajam dan cadar pada saat terjadinya bentrokan antara personel Brimob dan warga Kelurahan Gebang Rejo, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, pada hari Minggu lalu.

Polisi juga tengah mengejar seorang warga Poso lainnya yang melarikan diri saat polisi melakukan razia sebelum terjadi bentrokan.

Wakil Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Komisaris Besar I Nyoman Sindra, Jumat, mengatakan, jika terbukti ikut melakukan penyerangan terhadap Pos Polisi Masyarakat (Polmas) di Gebang Rejo, lima orang yang diperiksa itu akan ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, mereka juga akan diperiksa terkait dengan puluhan kasus kekerasan bersenjata yang terjadi di Poso dan Palu dalam sebulan terakhir.

Menurut Sindra, sejak 22 September sampai 25 Oktober, terjadi 11 kali ledakan bom, lima kali penemuan bom, 16 kali pembakaran, dan 10 kali perusakan yang terjadi di Poso. Dua di antara bom yang meledak menewaskan dua warga Poso.

Sementara itu, obyek yang dibakar dalam rentang waktu itu adalah rumah ibadah, rumah polisi, Kantor Cabang Kejaksaan Negeri Poso di Tentena, sepeda motor, dan truk polisi. Adapun perusakan yang terjadi adalah perusakan Markas Kepolisian Sektor Lage, Markas Kepolisian Sektor Pamona Timur, dan perusakan sebuah mobil Baracuda polisi.

Sindra menerangkan, sebelum terjadi bentrokan dengan warga Gebang Rejo, polisi melakukan razia di Gebang Rejo untuk membatasi ruang gerak sekelompok orang yang selama ini diduga melakukan berbagai aksi kekerasan di Poso. Saat itu, polisi menghentikan seorang pria yang mengendarai sepeda motor, tetapi pria itu melarikan diri meninggalkan sepeda motornya.

Dari bagasi sepeda motor ditemukan tas berisi dua kartu tanda pengenal (KTP), satu KTP Lampung dan satu KTP Poso, dengan nama dan foto yang sama.

Tidak lama setelah itu, Pos Polmas di Gebang Rejo yang dijaga empat personel Polmas dan 11 anggota Brimob diserang massa. "Bahkan, pos itu ditembaki dan dilempari bom. Polisi yang ada di sana teriak-teriak minta tolong melalui HT sehingga diturunkanlah satu SSK Brimob ke sana dan terjadi bentrokan dengan warga," papar Sindra.

Ketua Forum Silaturahim Perjuangan Umat Islam Poso Adnan Arsal membantah versi polisi tersebut. Menurut dia, justru polisi yang lebih dulu melakukan pengepungan terhadap Tanah Runtuh, Gebang Rejo, yang merupakan Kompleks Pesantren Amanah pimpinannya. Bentrokan antar polisi dan warga Gebang Rejo mengakibatkan seorang warga tewas tertembak.

Sindra menambahkan, selain memeriksa lima warga, tim dari Mabes Polri juga tengah memeriksa sejumlah anggota Brimob yang berada di lokasi bentrokan. Tim akan menyelidiki apakah ada kesalahan prosedur yang dilakukan anggota Brimob saat mengamankan Pos Polmas yang diserang massa. "Personel yang melakukan kesalahan prosedur tentu akan ditindak," kata Sindra.

Siasati

Menanggapi pernyataan Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto bahwa tidak mudah meringkus para pelaku teror, antropolog dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, mengatakan, polisi seharusnya tidak perlu bertindak dengan melancarkan penyergapan secara terbuka. Kesulitan aparat tersebut seharusnya bisa disiasati dengan meningkatkan teknik intelijen di lapangan tanpa menambah kisruh situasi.

Tamrin menambahkan, masalah konflik di Poso saat ini kuncinya terletak pada aparat keamanan. Aparat seharusnya meningkatkan kualitas bukan kuantitas penanganan. Penanganan konflik dengan pendekatan kuantitas, yakni mengirim pasukan tambahan, hanya akan meneguhkan apriori masyarakat soal adanya proyek keamanan di balik konflik tersebut.

Menurut Tamrin, jika memang perusuh yang hendak diciduk hanya kelompok kecil, aparat kepolisian dapat menciduknya dengan teknik-teknik intelijen. Mobilisasi pasukan besar-besaran hanya membuat atmosfer di lapangan semakin mencekam dan menakutkan bagi warga setempat. (REI/HAR/SF)

No comments: