Friday, November 17, 2006

Din: Polisi tidak Sensitif

Jumat, 03 Nopember 2006

Polisi terkesan menyudutkan umat Islam.

Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, meminta pemerintah lebih sensitif dalam menangani kasus kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah. Terutama, kata dia, dalam menangani kasus bentrokan antara anggota Brigade Mobil (Brimob) dengan warga pada Ahad (22/10) dan Senin (23/10).

''Pemerintah harus sensitif terhadap keadilan sosial masyarakat. Untuk itu, tragedi bentrokan Brimob dengan warga sipil Poso pada malam takbiran harus diusut tuntas dan hukum secara konsisten ditegakkan,'' kata Din usai memberikan ceramah pada acara halal bihalal Kwartir Nasional Pramuka di Cibubur, Jakarta, Kamis (2/11), seperti dikutip Antara.

Menurut Din, terjadinya bentrokan tersebut karena polisi tidak sensitif terhadap umat Islam. ''Kita mendukung penegakan hukum, tetapi juga harus peka terhadap agama,'' kata Din. Desakan penarikan Brimob dari Poso, kata Din, merupakan buntut dari tindakan Brimob yang berlebihan dan telah melukai hati umat Islam di Poso.

Saat peristiwa bentrokan Brimob-warga itu terjadi, empat perwira tinggi Polri sedang berada di Poso. Mereka adalah Irjen Paulus Purwoko, Irjen Gorries Mere, Irjen FX Sunarno, dan Irjen SY Wenas. Din meminta aparat kepolisian menyelesaikan masalah Poso sampai tuntas. Caranya, kata dia, adalah mengusut tuntas semua aktor intelektual kasus Poso.

Pengumuman DPO
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR yang membidangi hukum dan HAM, Almuzzammil Yusuf, mengkritik kepolisian soal pengumuman daftar nama daftar pencarian orang (DPO). Menurutnya, pengumuman DPO itu memunculkan kesan polisi sedang menyudutkan umat Islam. Seolah umat Islam lah yang berada di balik berbagai pelanggaran di Palu.

Seharusnya, kata Almuzzammil, pemerintah lebih mengedepankan pendekatan rekonsilatif di Poso ketimbang membuat konstruksi baru tentang terorisme yang belum tentu benar. ''Kalau bicara teroris, orang akan menarik hingga ke masa konflik. Bukan hanya orang Islam, tetapi ditarik ke belakang, sampai ke pelaku pembantaian,'' ujar Almuzzammil kepada Republika, tadi malam.

Almuzzammil melihat ada gelagat menyelesaikan persoalan Poso seperti menyelesaikan masalah Aceh di masa lalu. Dia menilai langkah itu disebabkan polisi panik. ''Pemerintah terperosok dengan letupan kecil. Semestinya pascaeksekusi Tibo dkk, pemerintah segera membawa nuansa baru menuju ke arah rekonsiliasi,'' katanya.

Tapi Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Anton Bahrul Alam, membantah polisi panik. Dia juga membantah polisi tengah melakukan stimatisasi sistematis terhadap umat Islam. ''Nggak ada panik. Polisi memiliki bukti permulaan yang cukup,'' kilahnya saat dihubungi Republika, kemarin.

Penyebutan kelompok DPO yang menggunakan nama daerah kantong muslim di Poso, kata Anton, semata karena lokasi keberadaan kelompok itu. Dia juga membantah nama-nama itu tidak akurat. Penggolongan pelanggaran hukum di Poso sebagai bentuk teror pun menurutnya tak berlebihan. ''Kalau ada yang komplain, silakan ke sini,'' kata Anton.

Dalam kesempatan berbeda, anggota DPD dari Sulteng, Ichsan Loulembah, sependapat jika penegakan hukum bukan solusi terbaik di Poso saat ini. ''Masalah sekarang memang prioritas, tetapi semua bisa jadi terkait konflik Poso,'' katanya, tadi malam. Dia meminta pemerintah melihat masalah di Poso secara komprehensif.ann

No comments: